Info Astronomy 29 November 2016

Posted: 28 Nov 2016 03:39 PM PST
Ilustrasi Tata Surya. Kredit: JACOPIN/BSIP/Corbis
Info Astronomy - Selama ini kita mengetahui bahwa Bumi beserta planet-planet lainnya berputar mengelilingi Matahari di Tata Surya. Tapi sudah tahukah Anda bagaimana Tata Surya kita terbentuk?

Tata Surya terdiri dari planet, satelit, planet kerdil, meteoroid, planetoid, asteroid, komet, dan Matahari sebagai bintang sekaligus sebagai pusatnya. Mereka semua mengedari Matahari pada lintasan masing-masing. Kecuali Merkurius (inklinasi/kemiringan bidang orbit 7 derajat), lintasan planet lainnya praktis berhimpit dengan bidang ekliptika.

Arah edar atau revolusi semua planet sama, demikian pula arah rotasinya (kecuali Venus dan Uranus). Hal ini tentu saja membuat timbulnya dugaan bahwa kondisi fisik dan dinamika ini sangat erat kaitannya dengan proses awal terbentuknya Tata Surya, demikian pula baik dari segi penyelisikan wujud (padat, gas, cair), unsur kimia, distribusi massa, temperatur, distribusi energi (atau khususnya momentum sudut), dll.

Sebagian besar massa Tata Surya (± 95%) terkumpul di Matahari. Oleh karena itu, pergerakan planet dan anggota Tata Surya lainnya berada di bawah pengaruh gaya tarik gravitasi Matahari yang besar.

Atau dari sisi lain, proses kelahiran Tata Surya sangat berkaitan erat dengan pembentukan Matahari sebagai sebuah bintang yang sekaligus menjadi kepala Tata Surya, dan tidak lupa bahwa inipun terkait dengan bagaimana dinamika pergerakan seluruh anggotanya (salah satunya gerak Keplerian, yaitu semakin dekat ke Matahari, maka kecepatan edar planet semakin tinggi).

Masalah rotasi dan revolusi ini terkait momentum sudut mungkin secara tidak sadar telah kita lihat saat menyaksikan penari balet di lantai es yang berputar di tempat; lihatlah posisi tangannya – mengembang atau dikuncupkan secara tegak di atas kepala – bagaimana kecepatan putarannya untuk tiap posisi?

Secara garis besar, Tata Surya berasal dari sebuah bola gas -- debu purba (nebula, materi antar bintang bertemperatur rendah dan kerapatan sangat kecil, namun radiusnya luar biasa besar). Adanya gaya gravitasi antar molekul menyebabkan adanya pergerakan, lalu timbul pusaran-pusaran dan pemampatan pada tempat-tempat tertentu.

Saat hal tersebut berlangsung, secara bersamaan proses pemipihan pun terjadi. Gumpalan yang berkumpul di tengah menjadi cikal bakal Matahari, sedangkan gumpalan lainnya menjadi planet-planet.

Bentuk keseluruhan menyerupai cakram materi yang berputar yang mana 95% materi terkonsentrasi di pusat. Lainnya di sayap cakram, kondensasi membentuk calon planet dan satelit.

Pada saatnya nanti, "janin" Matahari berhasil membangkitkan reaksi nuklir di pusatnya sebagai akibat dari makin padat materinya, makin cepat putarannya, dan semakin panas. Tahap berikutnya, energi yang semakin besar di pusat perlahan terhambur keluar. Apabila segala kondisi terpenuhi, lahirlah Matahari sebagai bintang sejati (memancarkan energi dalam semua rentang panjang gelombang).

Tekanan radiasi dan angin Matahari membubuskan sisa gas dan debu termasuk yang menyelimuti protoplanet sedemikian tinggallah teras planet yang telanjang. Dalam kasus Tata Surya, terbentuklah planet kebumian yang atmosfernya tipis, berukuran kecil dan padat.

Sementara untuk protoplanet yang jauh dari Matahari, materi selubung ini tidak semua terbubuskan. Terbentuklah planet seperti planet raksasa gas maupun raksasa es. Akhirnya, radiasi Matahari ini mengusir sisa materi lainnya ke tepian nan jauh menjadi cikal bakal materi Sabuk Kuiper, materi antarplanet, dan materi Awan Oort.

Usia Tata Surya diduga kisaran 4,5 miliar tahun. Istilahnya, anggota Tata Surya selain Matahari baru terbentuk setelah ratusan juta tahun lahirnya Matahari sebagai bintang. Matahari sendiri diduga saat ini berusia 5 miliar tahun.

Planet Ekstrasurya

Selain itu, walaupun secara garis besar teori pembentukan berbasis nebula di atas dapat diterima, tetap masih banyak membutuhkan perbaikan. Hal ini sangat terasa ketika planet-planet yang berada jauh di bintang lain sana mulai banyak ditemukan.

Berawal dari penemuan materi antarbintang di Orion yang pertama diketahui dan disebut nebula oleh Claude Fabri dari Peiresc tahun 1659. Saat sekarang di daerah ini telah banyak dijumpai cikal bakal bintang, bahkan diduga juga akan membentuk sistem keplanetan.

Adanya planet asing di luar Tata Surya kita yang berukuran besar (puluhan kali lebih besar dari Jupiter) dengan jarak sangat dekat ke bintang induknya pun menjadi perhatian karena periode revolusinya sangat cepat. Bagaimana keberlanjutan planet seperti ini masih menjadi pertanyaan.

Sementara itu, kita hanya berbekal pengetahuan apa yang ada di Tata Surya kita, satu dan hanya satu-satunya contoh pembanding. Belum lagi, planet ekstrasurya yang ditemukan berinduk pada bintang dengan jenis beragam.

Bahkan, planet ekstrasurya tidak selalu memiliki bintang induk seperti Matahari. Pada tahun 1992, Aleksander Wolszczan (astronom Polandia) and Dale Frail (astronom kelahiran Kanada) menemukan 2 planet mengedari sebuah pulsar milidetik (bintang neutron sisa ledakan supernova yang berotasi sangat cepat) PSR 1257+12. Jaraknya kisaran 1.000 tahun cahaya.

Walau begitu, saat ini belum ada teori lain yang lebih diterima dari teori pembentukan Tata Surya di atas. Jadi, kurang lebih memang seperti itulah proses Tata Surya kita terbentuk hingga menjadi seperti sekarang ini. 
Posted: 28 Nov 2016 03:10 AM PST
Gugus galaksi Abel 1689. Kredit: NASA/ESA/Hubble
Info Astronomy - Selama bertahun-tahun, para astronom bergumul dengan pertanyaan dasar tentang ukuran dan umur alam semesta. Pada tahun 1929, Edwin Hubble, seorang astronom di Institut Teknologi California, membuat penemuan penting: ia menemukan bahwa alam semesta mengembang.

Edwin Hubble juga lah yang memberikan bukti definitif bahwa alam semesta mengembang. Mengamati galaksi jauh, ia menemukan bahwa mereka saling menjauh satu sama lain. Pengamatan itu menyiratkan bahwa alam semesta di masa lalu lebih kecil daripada sekarang. Tapi, apa yang membuat semesta ini mengembang?

Jadi sampai sekitar 15 tahun yang lalu, satu-satunya jawaban apa yang membuat alam semesta mengembang adalah; momentum. Alam semesta menerima semua energi yang dibutuhkan untuk mengembang beberapa saat setelah Big Bang berlangsung 13,7 miliar tahun yang lalu.

Bayangkan awal terciptanya alam semesta, menyeruak keluar dari sebuah titik kecil sehingga seluruh materinya terpental-pental ke segala arah, itulah momentumnya. Untuk waktu yang cukup lama, para astronom berusaha untuk mencari tahu apa momentum ini akan berarti bagi masa depan alam semesta.

Akankah gravitasi semua benda di alam semesta menyebabkan mengembangnya alam semesta semakin lambat atau bahkan berhenti di beberapa titik di masa depan, atau mungkin bahkan alam semesta akan runtuh ke dalam dirinya sendiri?

Mengembangnya Alam Semesta Mengalami Akselerasi

Setelah Hubble menemukan bahwa alam semesta kita mengembang, penelitian lanjutan oleh para astronom berikutnya maupun astronom-astronom modern terus dilakukan.

Kini, alam semesta terbukti terus mengembang semakin cepat dengan akselerasi konstan. Para astronom juga memperkirakan, pengembangan alam semesta yang terus mengalami akselerasi digerakkan oleh apa yang disebut energi dan materi gelap.

Pada tahun 1998, astrofisikawan Perlmutt dari Lawrence Berkeley National Laboratory di AS, bersama Schmidt dari Australian National University di Australia dan Riess dari John Hopkins University di AS dapat membuktikan, bahwa akselerasi pengembangan alam semesta juga berlaku terus menerus.

Ketiga ilmuwan menyimpulkan hal itu setelah mengamati supernova atau ledakan bintang  yang terjadi jauh di ujung alam semesta dalam riset masing-masing yang dilakukan secara terpisah.

Hasil riset terhadap lebih dari 50 supernova amat jauh menunjukkan, emisi cahaya yang dipancarkannya lebih lemah dari yang diperhitungkan. Hal itu membuktikan bahwa pengembangan alam semesta berlangsung dalam akselerasi yang juga terjadi terus menerus atau konstan. Temuan ini pun dianugerahi Nobel Fisika.

Apa yang Mempercepat Pengembangan Alam Semesta?

Tentu saja, ketiga astrofisikawan ini ingin tahu apa bentuk energi yang mempercepat laju pengembangan itu. Yang pasti, energi itu tampaknya berlawanan dengan gravitasi; dan, keberadaan energi itu tidak bersesuaian dengan teori sekarang. Maka, bentuk energi yang misterius ini dinamakan energi gelap, dan boleh jadi membentuk hampir 75 persen alam semesta.

Namun, energi gelap bukan satu-satunya fenomena misterius yang ditemukan belakangan ini. Fenomena satunya lagi diteguhkan keberadaannya pada tahun 1980-an sewaktu para astronom memeriksa berbagai galaksi. Galaksi-galaksi ini, termasuk galaksi kita, tampaknya berputar terlalu cepat sehingga seharusnya tidak tetap menyatu.

Jadi, pasti ada semacam materi yang menyediakan daya rekat gravitasi yang dibutuhkan. Tetapi, materi apa? Karena para ilmuwan tidak mengetahuinya, mereka menyebutnya materi gelap, sebab materi itu tidak menyerap, memancarkan, atau memantulkan radiasi yang terdeteksi. Menurut perhitungan, materi gelap mungkin mengisi 22 persen atau lebih massa alam semesta.

Pikirkanlah: Menurut perkiraan sekarang, materi normal berjumlah sekitar 4 persen massa alam semesta. Dua hal besar yang belum diketahui—materi gelap dan energi gelap—tampaknya mengisi selebihnya. Jadi, sekitar 95 persen alam semesta masih merupakan misteri yang kelam!

Jadi, pada intinya, ketika Anda membaca artikel ini, alam semesta sedang mengembang. Pengembangannya bahkan diperkirakan lebih cepat dari kecepatan cahaya. Mungkin saja, volume alam semesta saat Anda mulai membaca artikel ini sudah jauh lebih kecil dari volume alam semesta saat Anda membaca kata terakhir di artikel ini.
Inilah "Syarat" Agar Bintang Bisa Menjadi Lubang Hitam
Posted: 27 Nov 2016 10:39 PM PST
Siklus kehidupan bintang. Kredit: Futurism
Info Astronomy - Sama seperti manusia, bintang mengalami kelahiran, pertumbuhan, dan kemudian akhirnya mati. Ketika bintang mati, tidak semuanya berevolusi menjadi lubang hitam. Tahukah Anda kalau ada "syarat" agar sebuah bintang bisa menjadi lubang hitam?

Sebelum itu, mari sejenak kita ketahui dulu apa itu evolusi bintang. Sederhananya, evolusi bintang adalah rangkaian perubahan yang dialami bintang selama masa hidupnya (masa di mana ia memancarkan cahaya dan panas). Bergantung pada ukurannya, masa ini terentang dari ratusan ribu tahun untuk bintang super masif hingga ratusan miliar tahun untuk bintang-bintang katai coklat.

Evolusi bintang tidak dipelajari dengan cara mengamati sebuah bintang dari lahir hingga kematiannya. Umur manusia terlalu singkat untuk melakukan hal tersebut. Evolusi bintang dipelajari melalui analisis hasil pengamatan ribuan bintang dengan usia yang berbeda-beda.

Tugas astronom adalah memilah-milah dan mengurutkan mana bintang yang muda dan mana yang tua sesuai dengan karakteristik fisisnya. Pemodelan kemudian dilakukan untuk memperkirakan struktur bagian dalam bintang dalam berbagai usia tersebut. Kini, dengan berkembangnya teknologi komputasi, evolusi bintang dapat disimulasikan melalui pemodelan komputer.

Evolusi bintang dimulai dengan keruntuhan gravitasi pada awan molekul raksasa. Diperkirakan awan molekul raksasa tersebut memiliki diameter kira-kira 100 tahun cahaya (9.5 × 10^14 km) dan berisi hingga 6.000.000 massa matahari (1,2 × 10^37 kg).

Ketika runtuh, awan molekul raksasa tadi lantas menjadi potongan-potongan kecil. Dalam setiap potongan ini, gas runtuh melepaskan energi potensial sehingga menjadi panas. Ketika suhu dan tekanan meningkat, potongan-potongan kecil tadi saling menyatu menjadi bola gas superpanas yang berputar dan dikenal sebagai protobintang.

Sebuah protobintang dapat terus berkembang dengan pertambahan gas dan debu dari sisa reruntuhan awan molekul, menjadi bintang katai, deret utama, bintang raksasa, hingga menjadi maharaksasa dan siap untuk mati.

Kematian Bintang

Sepanjang masa hidupnya, bintang tidak henti-hentinya bereaksi fusi. Setelah sebuah bintang telah menggunakan seluruh bahan bakarnya, ia dapat mati dan berevolusi menjadi bintang katai putih, bintang neutron, ataupun lubang hitam, tergantung pada massanya.

Ya, akhir kehidupan sebuah bintang tergantung pada massa yang dimilikinya sejak bintang itu lahir. Bintang yang memiliki massa besar akan mengakhiri hidup mereka sebagai lubang hitam atau bintang neutron. Tapi sebuah bintang dengan massa rendah atau menengah (dengan massa kurang dari sekitar 8 kali massa matahari kita) akan menjadi katai putih.

Syarat sebuah bintang agar bisa berevolusi menjadi lubang hitam adalah, ia setidaknya harus memiliki massa 10 kali lebih besar dari massa Matahari. Sehingga jenis bintang yang bisa menjadi lubang hitam adalah bintang maharaksasa.

Di masa akhir kehidupannya, bintang maharaksasa bakal meledak. Meledak dengan teramat dahsyat. Jauh lebih dahsyat dari ledakan bintang raksasa. Ledakannya disebut hipernova.

Seluruh isi perut bintang maharaksasa akan berhamburan dalam peristiwa hipernova. Tidak ada yang tersisa sama sekali. Bintang yang berukuran hingga orbit Mars ini habis. Tapi intinya tetap ada.

Yang menjadi sisa adalah materi inti apapun yang berada di dalam radius Schwarzschild. Sisa ini telah teremas begitu kuat hingga bahkan ia tidak menjadi bintang neutron. Sisa ini begitu gelap, mati, tanpa cahaya. Kita menyebutnya lubang hitam.


EmoticonEmoticon